Kamis, 27 Mei 2010

Cerita Pendek

LAMPIONKUBERWARNAHIJAU
Aling Wei, itulah namaku yang diberikan ibuku sedari kecil. Umurku baru 12 tahun. Awalnya aku tinggal bersama ibuku di jakarta. Aku merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaku berjenis kelamin wanita. Kakak ku yang pertama tinggal di jakarta bersama sang suami dan anak pertamanya. Selanjutnya kakaku yang kedua dia tinggal di bogor bersama ayah dan ibu. Sementara aku? Awalnya aku sama seperti kakaku yang kedua. Aku tinggal bersama ibu dan ayahku. Tapi sekarang aku mau tidak mau karena harus melanjutkan sekolah menengah pertama (SMP). Ibuku memutuskan aku pindah untuk melanjutkan sekolahku didesa Legoso dan tinggal bersama nenek dan kakek ku disana. Tepatnya di Jakarta. “MURAH” itulah alasan kenapa ibuku memindahkanku disini bersama neneku. Tapi setau aku dijakarta bukanya malah mahal yaa?. “Tapi entahlah, aku si nurut saja apa yang dikatakan ibuku”. Tukasnya pelan sambil memasukan barang-barang untuk dimasukan ke tas untuk keperluanya di jakarta.
Pagi ini seperti biasanya seorang wanita tua renta dengan wajah berseri-seri  menyambutku dengan penuh kehangatan. Aku pun menjawabnya dengan senyuman lebar kearah neneku yang sudah lama tidak bertemu. Neneku sayang sekali kepada semua cucu-cucunya. Begitu juga denganku. Walaupun dikeluarga besarku hanya nenek, kakek, dan ibuku yang beragama islam. Neneku tidak memandang agama kepada anak dan cucu-cucunya. itu yang membuat aku saying sama nenekku, Tapi sayangnya rasa sayangku ini hanya bisa aku persembahkan untuk neneku seorang. Kakek meninggal dunia sejak umurku lima tahun. Walaupun aku belum pernah melihat sosok kakek langsung, hanya pernah melihat kakekku dalam sebuah album foto. Tapi aku bangga dengannya sejak ibuku menceriterakan tentang kakek dan nenek dulu. Katanya pelan.
Bulan oktober yang cerah, bahkan sangat cerah dibandingkan dengan bogor. tempat tinggalku itu memang sering sekali yang namanya hujan. Hujan sudah menjadi pemandangan yang sudah tidak asing lagi dikotaku yakni bogor. Mangkanya kotaku itu disebut kota hujan. Tapi bagi agamaku tionghoa, hujan adalah berkah bagiku dan agamaku. Tapi itulah kota hujan. Mungkin kalau dibogor sering terjadi kahilangan. Mungkin saja namanya buka lagi kota hujan. Tetapi berubah menjadi kota “MALING”. A ling bergurau nyeleneh. 
Hmm.. hari ini adalah hari pertamaku tinggal bersama neneku dijakarta. Dan hari ini juga bertepatan dengan hari "sengsaranya" umat islam selama satu bulan. Bayangin saja selama satu bulan umat muslim menahan haus dan lapar selama satu bulan.
“........’ aling terdiam sejenak.
“apa nenekku kuat ya nahan haus sama ngak makan selama satu bulan?” tanya aling dalam hati.
“Sudahlah, yang penting sekarang aku harus mencoba betah tinggal disini, dan habis beres beres aku mau langsung istirahat.” Tukas aling dalam hati sambil mengeluarkan barang-barang yang sudah dibawanya sedari rumah dan memasukan kedalam lemari kosong yang sudah disiapkan oleh nenek tersayangnya dan langsung istirahat.
“SAHUUUR.. SAHUUUR...” teriak seseorang dari Masjid kira-kira jaraknya 100 meter dari rumah nenek.
            “suara apaan tuuh?” tukas aling kaget karena mendengar sahut-sahutan kata sahur dari musholah.
                              
alingpun terbangun dari tidurnya karena mendengar sahutan sahur dari musholah. Dan langsung melihat kearah jam yang menunjukan hampir pukul dua pagi dini hari.
            “padahal tadi aku tidur baru sebentar. Tapi sekarang sudah jam dua siang aja, apa karna aku kecapean karna perjalanan dari bogor kejakarta ya?” Tanya aling pelan sambil memandang kearah jam yang tepat barada dihadapanya.
Alingpun keluar kamar untuk memastikan kalau sekarang sudah siang dan melihat nenek sedang makan diruang makan.
            “neek, kok makan siang nggak bangunin aling sih nek?” tanya aling sopan sambil duduk dimeja makan dengan jari kanan mengucek mata yang sayu sehabis bangun tidur.
            “makan siang?” jawab nenek heran sambil tersenyum kearah aling dengan segelas air putih hangat ditangan kanannya.
            “kok nenek malah senyum-senyum gitu sih nek?” sahut aling heran.
            “abisnya kamu aneh” jawab singkat.
            “aneh? Aneh kenapa nek?” tanya aling singkat juga, sambil mengambil sesendok nasi di bakul yang sudah ada di meja makan sedari tadi.
            “iyaa kamu tuh aneh, wong sekarang masih jam dua pagi?” jawab nenek singkat sambil melihat tampang aling yang heran.
            Seketika itu juga aling meninggalkan meja makan, dan lari menuju jendela depan yang fewnya langsung mengarah ke luar.
            “bener kan?” teriak nenek sambil melanjutkan makananya.
Alingpun mengakuinya dengan senyuman malu karna sudah menganggap sekarang adalah jam makan siang.

            Kehidupan alingpun berubah 180 derajat saat aling tinggal bersama neneknya. Setiap jam dua pagi aling selalu bangun untuk menemani neneknya makan sahur. Dan begitu juga pada saat buka puasa. Dua minggu salama satu bulan puasa pun sudah dilewati nenek tanpa hambatan. A ling yang notabenenya beragama tionghoa. A ling sangat menghargai neneknya yang sedang berpuasa. Setiap nenek menyiapkan makanan untuk aling. A ling selalu menjauh dari nenek. Untuk menjaga hawa lapar yang sedang dilalui oleh neneknya. Dan selama empat belas hari dirumah nenek dan menemani neneknya setiap sahur,bukapuasa. A ling sering merasakan hal yang aneh ketika aling mendengar panggilan sholat untuk umat muslim yaitu azan dari musholah Jami Al-Islah yang tidak jauh dari rumah nenek. Aling merasakan ada ketenangan tersendiri yang aling tidak iya dapat sebelumnya. Setiap kumandang adzan aling selalu duduk di antara jendela kamarnya yang kebetulan fewnya tepat langsung mengarah ke musholah al-ariff. Walaupun kubahnya saja yang kelihatan dari jendela kamar aling. Tapi bukan itu yang penting. Yang terpenting suara azan yang keluar dari kubah musholah itu. Aling merasakan ketenangan seperti itu, tepatnya sejak hari kedua a ling mendengar suara adzan. Khususnya azan subuh. Namun pas hari itu aling belum menyadari kalau ketenangan itu berasal dari suara adzan subuh tersebut. Semanjak itulah a ling setiap mendengar suara adzan aling selalu berada dikamarnya. Dan mendengarkan kumandang azan sampai habis.
Tepat di hari ke dua puluh lima berpuasa. A ling tidak lagi bangun jam dua pagi dini hari untuk menemani neneknya makan sahur. A ling tidur pulas sekali waktu itu, iya lelah karena sore harinya a ling beres-beres rumah yang sudah ditempati oleh debu yang tidak diundang itu. Alhasil a ling pertama kalinya selama duapuluh lima hari tidak mendengarkan kumandang adzan subuh dari musholah Jami Al-Islah.
            “pagi neek!!” sapa aling pelan kepada ibunya yang sedang menyapu halaman depan.
            “kamu udah bangaun liing?” jawab nenek memotong sapaan aling dengan sapu duuk ditanganya.
Alingpun langsung bergegas mandi. Dan melakukan aktifitasnya sehari hari. Yaitu membantu neneknya dirumah. Sesekali a ling keluar rumah sekedar jalan jalan sore. dan sesekali tegur sapa dengan anak seumuranya. semenjak pindah kejakarta dan pindah sekolah di jakarta. Sekolah yang ditempatinya sekarang sedang libur total selama bulan puasa.
            “a ling” suara benturan piring dan gelas memecahkan keheningan yang berada di ruang makan.
            “neeek? nenek ngak puasa?” tanya a ling heran sambil melihat jam yang berada di ruang makan. dengan sepotong roti ditangan kanannya mendapati neneknya sedang makan di jam yang seharusnya tidak dibolehkan untuk makan bagi orang yang berpuasa. A ling yakin sekali bahwa pada saat itu masih siang dan ngak salah lagi. Alingpun langsung menghampiri neneknya yang sedang asik makan di meja makan. Sepanjang suapan sampai akhir. Siti jamilah nenek a ling menjelaskan kenapa iya tidak berpuasa pada hati itu.tidak enak badan.
Selama satu tiga hari a ling tidak lagi mendengarkan suara azan subuh, semenjak neneknya sakit .
            “Allahuakbar Allaaaaaaahuakbaaar.....” suara kumandang adzan.
            Alingpun kembali mendengarkan suara yang slalu membuatnya merasa tenang dan selalu bergetar hatinya ketika mendengar suara itu. Sempat terlintas dipikirannya a ling ingin mendekati suara itu. Tapi a ling belum bisa. Dan masih ada rasa canggung untuk kesana, karena a ling sadar , bahwa a ling beragama tionghoa.
Dan semua yang dirasakan selama ini belum di ceriterakan kepada neneknya.
            Setelah menemani nenek makan sahur dan ikut makan juga. Aling tidak lagi langsung pergi kekamar untuk mendengarkan suara azan itu. Iya memutuskan untuk keluar rumah untuk mendengarkan suara adzan itu. Niatnya sih ingin marasakan hal yang beda dari yang iya dengar dari jendela kamar.
            “klek..” suara hentakan tangan a ling dengan bukaan pintu yang sudah terbuka.
Aling keluar dengan mengunakan kain sarung yang diberikan neneknya untuk selimut. Sedang asik berdiri di halaman rumah yang tidak ada pagarnya itu. Aling tiba-tiba mendengar suara. Tapi kali ini bukan suara adzan yang iya dengar. Namun seperti hentakan kaki yang berlari menuju kearahnya. Tiba-tiba tiga orang anak seumuran a ling berlari dengan kompaknya, mirip kuda-kuda balap yang melaju kencang pas pintu start dibuka. Aling pun hanya melihat dari iya berdiri sekarang sampai tiba mendekat.
            “sreet..” alingpun diseret oleh salah satu oarng yang berlari tadi.
            “ayoo cepat sedikit lagi adzan tuuh, ngapin kamu masih berdiri aja.” ucap seorang yang menarik tangan a ling dengan kain sarung yang di kalungkan dilehernya.
Aling heran, sekaligus bingung kenapa tangannya ditarik dan ikut berlari bak kuda balap yang ingin mencapai finis terlebih dahulu. Alingpun mau tidak mau ikut berlari dan tidak tahu mau berlari kemana. Sepanjang perjalanan adzan punterdengar dari kejauhan. Tapi anehnya suara adzan itu seolah menghampiri aling. Akhirnya aling sadar bahwa aling dibawa berlari menuju suara yang membuatnya tenang dan bergetar hatinya selama ini. Sesampainya di musholah al-ariif aling dan ketiga anak yang membawa aling ke musholah. Mulai memasuki halaman musholah al-ariif.
            “waaaah..” terengah-engah aling ketika langkah pertamanya memasuki musholah tersebut sambil menatap setiap sudut musholah sambil mencari asal suara dan siapa yang mengkumandangkan adzan yang selama ini didengarnya.
            “ayoo cepet wudhu, ngapain diri disini” sapa anak yang tadi menyeret a ling sambil menepukan tangan kebahu kanan a ling.
            “hah? i..ii..iyaaa.”jawab a ling gugup sambil berjalan mengikuti anak yang menyeretnya barusan. Sambil berfikir wudhu itu apa.
            “cuuuurrr... “ suara air keran memecahkan keheningan ditempat wudhu.
Dengan sok tahunya a ling berwudhu. Sambil meniru anak yang menyeretnya tadi, seolah-olah sudah terbiasa berwudhu.
Aling tidak tau kalau sehabis iya berwudhu itu iya harus sholat yang dilakukan umat muslim. Dan tiba tiba aling diajak masuk untuk sholat.
            “sholat?” tanya aling dalam hati.                  
            “ngak, ngak,,,aku ngak boleh sholat.” Katanya dalam hati sambil melangkah menjauh dari saff menuju keluar pintu musholah.
Namun lagi-lagi anak yang menyeretnya dari awal menegurnya dari saff paling belakang.
            “hsttt....” siul anak itu kepada aling yang berjalan menjauh.
A ling refleks menengok kearah anak itu dengan tampang bingung.
            “iyaa iyaa sebentar. Aku mau masukin sendal dulu. Aku takut hilang.” Jawab a ling mengelak.
            “oowh.. ywdah cepet, sekalian sendalku juga ya?” sahutnya anak itu pelan juga.
Langkah kaki balik a ling ke barisan saff terakhir di iringi suara yang iya dengarnya setelah suara azan. Yaitu suara iqomah. Yang di kumandangkan oleh muadzin. Yang berarti shalat berjamaah akan segera dimulai.
            “sholat? Jangankan sholat.wudu aja nyontek sama orang.” Tukas a ling dalam hati dengan tampang bingung.
Dengan bola mata selalu mengarah keorang yang berada didepanya. A ling mengikui sampai rakaat kedua. Walaupun saat rakaat pertama a ling salah gerak. Yang seharusnya tidak langsung sujud. Berdiri sebentar untuk membaca do’a qunut. Namun dengan kecerdikan a ling, seolah-olah iya menggaruk jari-jari kakinya pada saat iya salah melakukan gerakan shalat, dan yang lain tetap berdiri dan membaca doa qunut. Begitu juga pada saat hatahiyat akhir. Jarinya telunjuknya telat diangkat.
Dari situ a ling sadar akan satu hal. Bahwa islam mungkin adalah agama yang seharusnya iya anut. Bermula dari rasa nyaman dan hati slalu bergetar ketika mendengar suara adzan. Islam tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuaatu, baik itu sholat,puasa dll. Islam mempunyai toleransi terhadap sesuatu. Dan tanpa pikir panjang a ling meminta izin sama keluarga besarnya untuk pindah dan masuk agama islam. Dan menjelaskan bahwa iya masuk islam karena hal yang dirasakannya pada saat itu. Bukan karena paksaan dari ibuku yang sudah islam sedari kecil .Ashaduallaillahaillallah waashadduannamuhammadarasullulaah. Kalimat ini awal untuk menuntunku untuk mendalami islam lebih dalam lagi. Ahmed adalah orang yang menjadi orang pertama yang tau kalau dulu itu aling shalat masih dalam agama tionghoa. Dan ahmed slalu menemani a ling untuk balajar mendalami islam. Malam mengaji pertama ahmed menjemput a ling dengan lampion yang awalnya berwarna merah dan dicatnya kembali dengan warna hijau. Merah melambangkan tionghoa, dan hijau melambangkan islam. Dan Sebagai seorang mualaf, A ling sangat bersemangat dan tekun sekali dalam memperdalam keislamanya. Dan disepanjang perjalanan aling menceritakan kejadian-kejadian lucu saat aling berpura-pura menganut agama islam agar aling yang berlatar belakang agama tionghoa,bisa diterima dikampung itu dan bermain bersama. Dari yang namanya kepergok memakai peci/kopiah dikamar. Nyaris kepergok dengan ahmed sehabis beribadah dari wihara yang kebetulan jarak antara masjid dengan wihara tidak terlalu jauh, kurang lebih sekitar  500 meter dari musholah al-ariif.  Ini membuat teman-teman sebayanya yang notabenenya sedari kecil sudah beragama islam merasa malu skaligus salut terhadapnya. Meskipun iya masih muda, yang sebagian anak muda seusianya sedang giat giatnya bermain,  tetapi A ling tidak demikian. Semangat belajarnya memang patut diancungi jempol. Pertama, Islam adalah diin (agama) yang paling sempurna, yaitu penyempurna dari semua agama-agama yang pernah diturunkan Allah SWT kepada ummat-Nya, ini ditegaskan dalam firman-Nya :
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku
cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah aku ridhai Islam sebagai agama
bagi kamu.
(QS Al Ma’idah [5]:3)
kalimat inilah yang aling dengar pada saat berpura-pura menjadi agama islam di dalam ceramahnya seorang ustat di Masjid Jami Al-Islah.
dan nama Aling Wei resmi di ganti menjadi Muhammad Aling, dan aling pun dewasa dengan agama islamnya sampai akhir hayatnya.